aura insani - Dalam pandangan Islam, akidah merupakan azas utama yang diharapkan dapat membentuk kepribadian yang mulia dalam diri seseorang. Dan, dia juga merupakan tonggak untuk kehidupan sebuah masyarakat yang marhamah yakni kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir bathin dalam ridha Allah SWT.
Kita sadari betul, bahwa betapa kuatnya pengaruh akidah dalam membentuk pribadi yang mulia dalam membentuk sebuah kehidupan masyarakat yang marhamah. Salah satu dampak akidah dalam mengantarkan seseorang untuk mau menunaikan kewajibannya, di antaranya adalah yang berkaitan dengan harta. Seperti kita maklumi bersama, dalam aturan hukum negara yang tidak berdasar syariat Islam pun diaturlah bahwa setiap warga negara berkewajiban membayar pajak. Yang besaran pajaknya ditetapkan oleh negara. Namun demikian, dalam kenyataannya betapa tidak mudah pihak pemerintah untuk bisa mengumpulkan pajak dari rakyatnya. Padahal, berbagai imbauan telah disebarluaskan tapi tetap saja masih susah.
Kenapa hal ini bisa terjadi ? Ini terjadi karena masing-masing manusia sesuai de-ngan kecenderungannya yang kuat di antaranya mencintai harta. Akhirnya dia akan cenderung menghindar dari hal-hal yang bisa mengurangi hartanya, termasuk dalam hal ini adalah membayar pajak. Di dalam Islam, memang ada aturan juga yang menyangkut masalah kewajiban mengenai mengeluarkan sebagian harta yang dikenal dengan infak. Infak itu sendiri adalah sebagai aturan dasarnya. Sehingga muncul ada yang hukumnya wajib dan ada pula yang sunnah. Yang wajib di antaranya adalah zakat fitrah, maal, fidyah, kifarat dan sebagainya.
Kalau kita lihat di dalam aturan Islam, walaupun mungkin juga ada sebagian manusia yang enggan mengeluarkan zakat. Tapi, bagi seorang yang mu'min mustahil itu akan terjadi kalaupun tidak harus dengan ancaman apa-apa dari pihak pemerintah, misalnya. Bahkan di negeri kita ini yang tidak berdasar syariat Islam yang tidak mengatur seorang muslim wajib mengeluarkan zakat, dengan konsekuensi hukum bagi mereka yang tidak mengeluarkan zakat, tapi dalam kenyataannya lebih banyak orang muslim yang mengeluarkan zakat daripada yang membayar pajak.
Padahal, tidak ada konsekuensi hukum apa-apa dalam arti konsekuensi hukum duniawi. Demikian pula, tidak ada yang terlibat ikut menghitung harta setiap orang muslim. Tapi, kenyataannya masing-masing dari mereka datang untuk mengeluarkan zakatnya. Ada yang datang ke masjid-masjid atau yayasan-yayasan dan lain sebagainya. Mereka menghitung sendiri dan mereka dengan ikhlas membagikan zakat hartanya itu. Yang bisa mengantarkan seseorang berbuat semacam itu tidak lain adalah keimanan.
Dengan keimanannya, dia sadar betul bahwa memang harta seseorang manakala dia sudah memenuhi syarat yang sudah ditetapkan oleh Islam, nishab dan haul-nya, maka sebagian hartanya terutama yang menyangkut zakat maal itu sudah bukan lagi miliknya, tapi menjadi miliki 8 golongan manusia. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’alaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(At Taubah, 9 : 60).
Seorang muslim, dia menyadari betul jika hartanya itu sudah memenuhi kriteria nishab dan haul maka minimal 2,5 persen itu sudah bukan harta miliknya lagi, tapi merupakan harta hak milik 8 golongan itu. Yang kalau dia tidak mengeluarkan zakatnya itu berarti dia sudah memakan hak orang lain. Sedangkan ancaman memakan hak orang lain itu ancamannya berat sekali. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang- orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)" (An Nisaa', 4 : 10). Sangatlah berat ancamannya. Bagi seorang mu'min, siapa yang siap menyiapkan bara api neraka jahannam sepenuh perutnya ?
Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah itu adalah Dzat Yang Mahabaik, karena itu Dia tidak akan menerima dari hamba-Nya kecuali yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang mu'min sebagaimana yang Allah perintahkan kepada para rasul. Lantas beliau mengutip firman Allah SWT : "Wahai para rasul makanlah dari yang baik-baik dan beramal shaleh-lah…" (Al Mu'minuun, 23 : 51). Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik sebagaimana yang telah Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kalian kepada Allah…."(Al Baqarah, 2 : 172)
Intinya, pada awalnya Rasulullah Saw mengingatkan kepada kita bahwa Allah itu adalah Dzat Yang Mahabaik. Dia tidak akan menerima dari hamba-Nya kecuali dari hal yang baik-baik. Pengertian dari hal yang baik-baik di sini adalah baik dalam bentuk ibadah maupun dalam pribadi hamba-Nya itu sendiri. Kemudian Rasulullah Saw menceritakan tentang adanya seorang laki-laki yang sudah menempuh perjalanan yang sangat jauh, rambutnya kusut, pakaiannya kumal. Di tengah-tengah teriknya padang pasir dia mengulurkan kedua tangannya sambil berdoa, wahai Tuhan - wahai Tuhan. Dia menjerit-jerit kepada Allah SWT, berdoa memohon agar Allah SWT membebaskan dia dari penderitaannya itu. Para sahabat yang sempat menyaksikan peristiwa itu sempat berkomentar bagaimana mungkin Allah SWT tidak akan mengabulkan doa hamba-Nya yang sudah menderita sedemikian rupa ? Dia telah berdoa memelas seperti itu di tengah teriknya padang pasir, seakan-akan dia tidak mau meninggalkan padang pasir itu sebelum Allah SWT mengabulkan doanya.
Betapa terkejutnya para sahabat ketika Rasul kemudian mengatakan, bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan doa hamba-Nya ini ? Para sahabat bertanya, kenapa ya Rasul ? Jawab Rasul: dalam kondisi seperti ini Allah tidak mungkin mengabulkan doa dia. Akhirnya Rasul menjelaskan, dulu orang tersebut hidup dalam kecukupan sebelum dia menderita seperti ini. Hanya sayang hartanya itu dia peroleh dengan jalan yang haram. Sehingga pakaian yang dia pakai sebagian dia beli dari harta yang haram, minuman yang dia minum juga dia beli dari uang hasil yang haram, makanan yang dia makan juga dia makan dari harta yang haram, karena itu dia dikenyangkan/dihidupkan sehari-hari dari hasil uang yang haram. Kalau hidupnya sudah bergelimang dengan yang haram-haram seperti itu, bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan doa dia? (HR. Muslim)
Kalau kita boleh tamsilkan, jika hanya sebab seseorang buang angin (kentut) membuat yang bersangkutan tidak bisa berjumpa dengan Allah dalam shalat, sebelum berwudhu terlebih dulu membersihkan bagian yang tidak berhubungan dengan keluarnya angin tadi. Di mana bila dipaksakan shalat tanpa berwudhu, maka shalat kita pasti tidak diterima. Ternyata, keluarnya angin dari tubuh kita pun bisa menghalangi kita berjumpa dengan Allah. Inilah betapa mulia ajaran Islam, betapa Allah itu sangat thoyyib yang tidak akan menerima kecuali yang thoyyib lagi.
Jika hanya sebab kita buang air kecil atau hajat besar, maka seseorang tidak bisa lagi berjumpa dengan Allah lewat shalat sebelum berwudhu. Bila sebab seseorang dalam keadaan junub, oleh sebab melakukan yang halal dan bagian dari ibadah dalam bentuk hubungan suami-istri menyebabkan seseorang tidak bisa menghadap Allah kecuali harus mandi junub terlebih dahulu. Jangankan shalat, I'tikaf di masjid pun haram. Jika hanya sebab seorang wanita sedang kedatangan tamu terhormat dalam tiap bulannya, maka haramlah dia baik melakukan shalat, shaum maupun thawaf. Padahal, kedatangan tamu bulanan itu sendiri merupakan anugerah dari Allah, tapi Allah sendiri mengharamkan bagi wanita untuk tidak shalat, shaum atau thawaf. Kalau hanya sebab kaki kita tersentuh air liur anjing, misalnya, maka harus kita basuh dulu sebanyak 7 kali yang salah satunya dengan tanah, barulah kita bisa shalat. Di mana bila kita biarkan najis tersebut terbawa dalam shalat maka shalat tidak akan diterima Allah SWT.
Jika air liur anjing, buang air besar, buang air kecil, haid atau nifas, laki-laki dan wanita yang sedang keadaan junub, bahkan sampai buang angin tadi telah menghalangi seseorang untuk berjumpa dengan Allah, bagaimana mungkin seseorang akan diterima shalatnya, ibadahnya, didengar dan dikabulkan do'anya oleh Allah kalau yang najis itu bahkan sudah menjadi darah dan daging yang bersangkutan, karena yang dimakan, diminum dan dipakainya adalah sesuatu yang haram ?
Lewat keyakinan seperti ini seorang mu'min akan sangat luar biasa berhati-hati dalam hidupnya. Dia tidak akan mungkin korupsi, mencuri, merampok, menipu, berjudi, dan lain sebagainya. Jadi layaklah jika kita mengatakan, bahwa krisis berkepanjangan di negeri ini sebabnya adalah “krisis keimanan”.
Wallahu a’lam bish-shawab
Posting Komentar